Jumat, 30 Mei 2008

GOWA TERIMA AMBULANCE DARI MENKES

GOWA, BKM -- Masyarakat Gowa kembali menerima bantuan tiga unit Ambulance dari Menkes RI Dr dr Fadilah Supari SP JP yang diterima langsung Bupati Gowa H Ichsan YL SH di rujab Bupati, Minggu (4/5) kemarin.
Penyerahan tiga unit kendaraan sarana pelayanan kesehatan itu atas keseriusan Pemkab dalam program kesehatan masyarakat kurun waktu dua tahun ini. Kunjungan Menkes RI ke Gowa disertai sejumlah tim ahli kesehatan serta staf Kementerian Kesehatan RI. Pada kesempatan tersebut, Menkes meminta jajaran Pemkab Gowa untuk terus berupaya mendukung lima program nasional dalam bidang kesehatan, yakni perhatian pemerintah atas tingkat kematian Ibu dan anak, penanganan kasus bencana alam, penyehatan rakyat miskin, penempatan tenaga medis untuk pelayanan kesehatan di daerah perbatasan termasuk desa siaga utamanya kasus gizi buruk. Bupati Ichsan menjelaskan mulai 2005 telah terbangun 117 Pustu serta Puskesdes 119 unit yang tersebar di 18 kecamatan. Saat ini, kata Bupati, Pemkab menambah anggaran untuk kesehatan hingga mencapai 82,72 persen. Selain itu, tahun 2008 ini, Pemkab juga akan membangun RS khusus perempuan dan anak. (R8/sar)

GOWA BERSEJARAH

GOWA
Secara geografi Kabupaten Gowa terletak pada koordinat antara 5o 33’ 6” sampai 50 34’ 7” Lintang Selatan dan 120 38’ 6” sampai 120 33’ 6” Bujur Timur.
Batas-batas Wilayah
Sebelah Utara : Kota Makassar dan Kabupaten Maros, Sebelah Selatan : Kabupaten Takalar dan Kabupaten JenepontoSebelah Timur : Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Bantaeng.Sebelah Barat : Kota Makassar dan Kabupaten Takalar.

1. Benteng Somba Opu
Benteng Somba Opu sama kedudukannya dengan benteng Ujung Pandang. Keduanya merupakan peninggalan sejarah dari kerajaan perkasa masa lalu di Sulawesi. Sekarang benteng Somba Opu dalam proses pemugaran kembali dengan suatu cita-cita untuk dijadikan sebagai pusat budaya yang disebut Miniatur Sulawesi. Seputar daerah benteng dibangun kembali berbagai rumah adat tradisional dari semua suku bangsa di Sulawesi. Rumah adat dari kerajaan Gowa,Bugis, Mandar, Toraja dan Kajang telah terbangun dan pantas untuk dihargakan. Setiap rumah adat tersebut dibentuk secara artistik dan setiap bentuknya yang unik menggambarkan kekhususan filosofi budaya dari masing-masing suku bangsa. Sebagai pusat budaya dan sejarah, Somba Opu merupakan tempat yang tepat untuk dikunjungi tahap awal bagi orang yang berminat menghargai sejarah dan budaya Sulawesi Selatan.


2. Makam Syech Yusuf
Syech Yusuf salah seorang pahlawan Muslim yang terkenal. beliau dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan sebagai "Tuanta Slamaka". Makamnya dikenal dengan nama "Kobbang". Beliau dikenal sebagai ulama dan pejuang yang aktif menyiarkan ajaran agama Islam di beberapa negara. Anehnya, makam beliau ditemukan di Afrika Sekatan, Seylon (Srilanka), Banten dan Gowa. Makam beliau hampir setiap hari dikunjungi masyarakat untuk berziarah.
Lokasi : Jalan Syech Yusuf (perbatasan Kota Makassar dan Kabupaten Gowa)
Fasilitas : Masjid, perpustakaan, serta mudah dijangkau dengan berbagai jenis kendaraan.


3. Museum Balla Lompoa
Museum ini merupakan satu rekonstruksi bentuk istana tua kerajaan Gowa, dalam susunan kayu yang telah dibangun ditahun 1939. Ia telah direstorasi pada tahun 1978-1980. Museum berisi benda-benda bersejarah dari kerajaan Gowa seperti berbagai manuskrip, instrumen musik, pakaian adat, senjata dan berbagai koleksi alat-alat upacara adat kerajaan.
Lokasi : Jalan K.H. Hasyim (Pusatkota Kabupaten Gowa)
Fasilitas : Tersedia area parkir disamping museum,rumah adat tamalate,dekat dengan pusat perbelanjaan dan dapat dijangkau dengan berbagai jenis kendaraan.


4.Kuburan Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin (1629-1670) raja Gowa yang mengabdikan seluruh hayatnya berjuang melawan Belanda. Makamnya berada di kompleks makam raja-raja Gowa, termasuk di dalam pemakaman itu sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pelantikan bagi raja-raja Gowa, dan sebuah mesjid kuno. Kuburan raja Gowa terbuat dari batu besar terbesar di antara keharuman bunga-bunga putih kamboja dan bunga flamboyan yang merah padam semarak. Di luar lingkaran makam terdapat sebuah batu dari "tomanurung" di mana tempat semua raja Gowa dinobatkan. Menurut legenda raja-raja Sulawesi Selatan merasa dari turunan tomanurung, yang diutus menjadi raja dari langit. Mesjid di dekatnya adalah mesjid yang dibangun tahun 1903 dan direstorasi ditahun 1978.


5. Hutan Wisata Malino
Raja-raja menjadikan Malino sebagai tempat istirahat di masa silam. Dan pejabat teras pemerintah Belanda memulasnya menjadi tempat rekreasi yang menyenangkan. Banyak macam jenis bunga tropis yang indah ditemukan tumbuh dimana-mana di kota yang dingin ini. Disamping bunga, malinopun menghasilkan buah dan sayur-sayuran yang khusus tumbuh dilereng gunung Bawakaraeng. Gunung itu dianggap gunung suci bagi sekelompok orang Sulawesi Selatan. Hutan pinus yang tumbuh di sekitar daerah itu berada diketinggian 1050 m di atas laut, penyejuk yang berarti bagi tempat istirahat itu. Hutan wisata ini merupakan salah satu objek untuk bersantai dan menghirup udara segar di bawah kerindangan pohon pinus dan panorama alam. Tempat ini juga merupakan lokasi perkemahan wisata remaja.


6. Air Terjun Takapala
Ia terletak 4 km sebelah timur dari malino. Air terjun yang mempunyai ciri khusus karena ia berada ditengah dari hamparan sawah. Dari malino kota berbukit dan dingin, air terjun dapat dicapai dengan mengendarai kuda yang telah tersedia untuk disewa sembari menunggang juga menikmati indahnya alam yang cantik dan damai dari daerah tropis ini.


7. Masjid Tua Katangka
Masjid ini dibangun tahun 1603 yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin dan dipugar tahun 1978. Merupakan mesjid tertua di Kab. Gowa dan Sulawesi Selatan. Di sekitar masjid terdapat makam raja-raja yang pernah berkuasa di beberapa daerah seperti Luwu, Bone, dan Gowa.
Lokasi : Jalan Syech Yusuf Desa Katangka Kecamatan Somba Opu
Fasilitas : Mudah dijangkau dengan berbagai jenis kendaraan.


8. Perkebunan Buah Markisa
Buah markisa yang dihasilkan diolah menjadi minuman segar yang bermutu tinggi dan mempunyai rasa ciri khas yang berbeda dengan markisa dari daerah lain. Perkebunan markisa mempunyai pemandangan yang indah serta hawa yang sangat sejuk. Pengunjung dapat mencicipi buah markisa sebelum diolah.


Lokasi : Desa Kanreapia kurang lebih 9 km dari Kota Malino
Fasilitas : Terdapat tempat rekreasi dan tempat peristirahatan (villa)


KISAH KERAJAAN GOWA

Dari mana Gowa berasal?
Negeri ini sudah ada sejak dahulu kala. Tidak ada yang tahu asal mula negeri ini secara pasti. Namun konon, Gowa awalnya dipimpin oleh empat bersaudara secara berturut-turut : Batara Guru I, Yang Dibunuh di Talah (nama asilnya tidak diketahui), Ratu Sapu (Marancai), dan Karaeng Katangka. Di bawah kepemimpinan raja-raja itu, rakyat Gowa sudah sejak lama hidup damai dengan alamnya dengan bertani, berkebun, dan berlayar.
Rakyat Gowa juga mendirikan negeri-negeri kecil yang masih berada dalam lingkup kekuasaan Kerajaan Gowa. Tiap-tiap negeri itu dipimpin oleh seorang penguasa, yang merupakan raja kecil. Negeri kecil itu berjumlah sembilan, yaitu : Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agang Jekne, Bisei, Kalling, dan Sero.

Sepeninggal Karaeng Katangka, Gowa mengalami kekosongan kepemimpinan. Maka raja dari sembilan negeri itu berkumpul dan membuat gabungan yang dipimpin oleh seorang Paccallayya, yaitu seorang pejabat yang mengetuai pemerintahan gabungan, dan sebagai ketua dewan, juga sebagai hakim tertinggi bila terjadi perselisihan.
Waktu terus berjalan beberapa lama, Gowa masih juga belum memiliki pemimpin. Di antara raja-raja kecil pun merasa enggan untuk mengangkat salah satu dari mereka untuk dijadikan raja. Hal itu ternyata membuat banyak terjadi perselisihan di antara raja dan negeri-negeri kecil. Gowa menjadi kacau, dan menjadi sasaran empuk serangan kaum Garassi, Untia, dan Lambengi. Kaum-kaum itu adalah kaum yang berada di luar wilayah Gowa.

Setelah perang berakhir, terdengar kabar yang menggemparkan seisi negeri bahwa di sebuah tempat bernama Takak Bassia ada seorang raja wanita yang turun dari Kayangan.
Paccallayya dan raja-raja pun segera pergi mendatangi tempat tersebut. Dan ternyata benar, di tempat yang di maksud mereka mendapati seorang wanita yang cantik parasnya dengan memakai sebuah dokoh yang indah. Mereka tidak mengenal nama asli perempuan tersebut. Dialah wanita yang turun dari kayangan bersama dokohnya, piring jawa, beserta istananya yang sebesar lima petak di dekat sebatang pohon mangga jombe-jombea.
Lalu berkatalah Paccallayya dan raja-raja kecil kepada perempuan Tumanurung (turun dari langit) itu,

“kami semua datang kemari untuk mengambil engkau menjadi raja kami”
Sang Tumanunrunga menjawab, “Engkau pertuan kami, masih menumbuk, masih mengambil air”.
Berkata lagi Paccallayya dan sembilan raja, “sedangkan istri kami tidak menumbuk, tidak mengambilair, apalagi Engkau yang kami pertuan”.
Lalu Tumanurunga bangkit, dan rela diangkat menjadi raja. Sejak saat itu Gowa memiliki seorang pemimpin baru, seorang raja yang turun dari langit.
Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga (sembilan pengabdi, raja-raja kecil yang berubah jabatannya sejak naiknya Tumanurunga menjadi raja Gowa. Kadang juga disebut Bate Salapang atau Sembilan Pemegang Bendera) membangun sebuah istana yang besarnya sembilan petak di Takak Basia untuk Tumanurunga, kemudian istana itu dinamai Tammalate, yang artinya Tidak Layu. Dinamai demikian karena daun-daun darikayu yang dijadikan istana itu belum layu sewaktu istana selesai dibangun.

Tumanurunga begitu termasyhur akan kecantikan dan kebijaksanaannya. Kabar mengenainya terus tersebar ke luar wilayah Gowa. Maka datanglah raja-raja dari negeri lain untuk menyembah dan tunduk kepada Tumanurunga.
Namun lama setelah Tumanurunga menjadi raja, Kasuwiang Salapanga menjadi khawatir karena sang Raja Wanita belum juga memiliki pendamping. Kelak jika raja mangkat, dan belum juga mempunyai keturunan maka Gowa akan kembali menjadi kacau balau.
Pada saat itu datanglah dua pemuda masuk ke Gowa dari arah selatan. Dua pemuda bersaudara dan tidak jelas asal usulnya, namun konon berasal dari Tana Toraja. Yang satu bernama Karaeng Bayo, dan saudaranya bernama Lakipadada. Karaeng Bayo memiliki sebuah kelewang (badik) yang bernama Tanruballanga, dan Lakipadada memiliki sebuah kelewang yang dinamai Sudanga. (konon kedatangan Lakipadada ke Gowa dengan bergantungan di cakar seekor burung garuda).
Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga yang mengetahui kedatangan dua pemuda tadi bergegas menemui keduanya dengan maksud mempersuami-isterikan Karaeng Bayo dengan Tumanurunga.

Berkatalah Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga, “kami datang mengambil Engkau untuk mempersuami-isterikan Engkau dengan raja kami”.
Karaeng Bayo menjawab, “sedangkan Engkau si empunya negeri menurunkan kami ke dalam lubang tanah kami berdiam diri, apalagi Engkau naikkan kami ke puncak pohon kelapa. Sudah tentu hal itu sangat menggembirakan hati kami”.
Maka bertempat di Tammalate, dilaksanakanlah pernikahan antara Karaeng Bayo dan Karaeng Tumanurunga dengan upacara kebesaran menurut adat istiadat kerajaan Gowa. Seluruh rakyat riuh dalam suka cita, bersyukur kepada Dewata atas berlangsungnya perkawinan itu.
Beberapa waktu setelah itu, antara Karaeng Bayo dan Karaeng Tumanurung, serta Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga diucapkan ikrar yang akan selalu diingat oleh rakyat Gowa. Ikrar tersebut berbunyi
Karaeng Bayo Berkata kepada Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga :
Bahwasanya Engkau angkat kami menjadi rajamu. Kami bersabda dan Engkau tunduk patu. Kami adalah angin, Engkau adalah daun kayu.
Paccallayya dan Kasuwiang Salapanga menjawab :
Bahwasanya kami telah mengangkat engkau menjadi raja kami, Engkau adalah raja dan kami adalah hamba rakyat tuanku.

Engkau adalah sangkutan tempat bergantung, kami adalah lau (tempat air tuak, terbuat dari kulit labu). Kalau sangkutan tempat bergantung patah dan lau tidak pecah, kami mati.
Kami tidak akan tertikam oleh senjatamu, engkaupun tidak tertikam oleh senjata kami.
Hanya Dewata yang membunuh kami, engkaupun hanya Dewata yang membunuhmu.
Bertitahlah Engkau dan kami tunduk patuh. Kalau kami menjunjung, maka kami tidakmemikul, kalau kami memikul maka kami tidak menjunjung.
Engkau adalah angin, kami adalah daun kayu. Akan tetapihanya daun kayu yang telah menguning sajalah Engkau luluhkan.
Engkau adalah air dan kami adalah batang hanyut. Akan tetapi hanya air pasang yang besar saja yang dapat menghanyutkan.
Walaupun anak kami, walaupun isteri kami, jika kerajaan tidak menyukainya, maka kami pun tidak menyukainya.
Bahwasanya kami mempertuan Engkau, bukan harta benda kami.
Engkau tidak akan mengambil ayam dari kandang ayam kami, engkau tidak akan mengambil terlur ayam dari pekarangan kami, tidak mengambil kelapa kami sebutirpun dan tidak mengambil pinang setandanpun dari kami.

Jika Engkau mengingini barang kepunyaan kami, Engkau membelinya yang patut dibeli, Engkau menggantinya yang patut diganti, Engkau memintanya yang patut diminta, dan kami akan memberikan kepada Engkau, Engkau tidak boleh terus mengambil begitu saja milik kami.
Raja tidak akan memutuskan hal ikhwal di dalam negeri jika gallarang tidak hadir dan gallarang tidak mengambil keputusan tentang sooal perang jika raja tidak hadir.
Lalu Karaeng Bayo dan Karaeng Tumanurunga menerima ikrar bersama tersebut.
Dari pernikahan Karaeng Bayo dan Karaeng Tumanurunga lahir seorang putra dengan kondisi tidak biasa. Dia lahir setelah tiga tahun lamanya di dalam kandungan. Dia dapat berbicara dan berlari sesaat setelah dilahirkan. Ia pun disebut Tau Assala-salang (Orang Kerukut).
Anak itu diberi nama Tumassalangnga Baraya. Diberi nama seperti itu karena memiliki bahu yang tidak rata. Sebelah telinganya memiliki benjolan, dan sebelah lainnya berbentuk lebar tidak normal. Telapak kakinya sama panjang antara depan dan belakang, dan pusarnya seperti bakuk karaeng.

Maka bersabdalah bundanya, “mengapaanakku seorang-orang kerukut karena bahunya miring, telinganya seperti bukit yang melambai-lambai, rambut yang putus di Jawa dapat didengarnya. Kerbau putih mati di Selayar tercium olehnya. Burung merpati yang ada di Bantaeng dapat dilihatnya. Kakinya seperti timbangan, pusarnya bagaikan mta air, tangannya pandai menikam. Siapa yang menyembah kepadanya bertahil-tahil emasnya. Siapa yang menyembah dia akan dimohonkannya berkat keselamatan. Siapa yang menyembah dia akan menjadi rakyatnya”.
Kelak Tumasalanga Baraya juga menjadi Raja Gowa yang ke II, menggantikan ibundanya.

Sumber :
Buku Sejarah Gowa, karya Abd. Razak Daeng Patunru, 1993
Lakipadada dan Tang Mate , tulisan Noertika (Daeng Rusle)

Kamis, 29 Mei 2008

SEJARAH GOWA

KESULTANAN GOWA

Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten Gowa dan daerah sekitarnya yang dalam bingkai negara kesatuan RI dimekarkan menjadi Kotamadya Makassar dan kabupaten lainnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap Belanda yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang berasal dari Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Tapi perang ini bukan berati perang antar suku Makassar - suku Bugis, karena di pihak Gowa ada sekutu bugisnya demikian pula di pihak Belanda-Bone, ada sekutu Makassarnya. Politik Divide et Impera Belanda, terbukti sangat ampuh disini. Perang Makassar ini adalah perang terbesar Belanda yang pernah dilakukannya di abad itu

Sejarah awal
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya.[1]
Tradisi lainnya menyebutkan bahwa Gowa mulai eksis sebelum abad ke-13, dan dikatakan bahwa pendiri Gowa adalah empat pangeran yang bernama Batara Guru, Ratu Sapu Marantaia, Karaeng Katanka dan nama ke-4 hilang dalam catatan sejarah.[2]

Abad ke-16

Tumapa'risi' Kallonna
Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil". Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan ikan banyak.[1]
Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya di abadl ke-16 dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga.[1]

Tunipalangga
Tunipalangga dikenang karena sejumlah pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam Kronik (Cerita para pendahulu) Gowa, diantaranya adalah:
Menaklukkan dan menjadikan bawahan Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, berbagai negara kecil di belakang Maros, Wajo, Suppa, Sawitto, Alitta, Duri, Panaikang, Bulukumba dan negara-negara lain di selatan, dan wilayah pegunungan di selatan.
Orang pertama kali yang membawa orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke Gowa.
Menciptakan jabatan Tumakkajananngang.
Menciptakan jabatan Tumailalang untuk menangani administrasi internal kerajaan, sehingga Syahbandar leluasa mengurus perdagangan dengan pihak luar.
Menetapkan sistem resmi ukuran berat dan pengukuran
Pertama kali memasang meriam yang diletakkan di benteng-benteng besar.
Pemerintah pertama ketika orang Makassar mulai membuat peluru, mencampur emas dengan logam lain, dan membuat batu bata.
Pertama kali membuat dinding batu bata mengelilingi pemukiman Gowa dan Sombaopu.
Penguasa pertama yang didatangi oleh orang asing (Melayu) di bawah Anakhoda Bonang untuk meminta tempat tinggal di Makassar.
Yang pertama membuat perisai besar menjadi kecil, memendekkan gagang tombak (batakang), dan membuat peluru Palembang.
Penguasa pertama yang meminta tenaga lebih banyak dari rakyatnya.
Penyusun siasat perang yang cerdas, seorang pekerja keras, seorang narasumber, kaya dan sangat berani.[1]

Raja-raja Kesultanan Gowa
Tumanurunga (+ 1300)
Tumassalangga Baraya
Puang Loe Lembang
I Tuniatabanri
Karampang ri Gowa
Tunatangka Lopi (+ 1400)
Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16)
I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri GaukannaBerkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.[1]
I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang BatunaLahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653
I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkanaLahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670
I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu'Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna
Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri JakattaraLahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681
I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
I Manrabbia Sultan Najamuddin
I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)
I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)
Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)
I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893)
I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18 Mei 1895)
I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'naMemerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.[3]
I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.[3]
Andi Kumala Karaeng Sila (lahir tahun 1959), menggantikan ayahnya sebagai Kepala Rumah Tangga Kerajaan Gowa pada tahun 1978, menikah tahun 1994 dengan Andi Hikmawati.[3]